Kamis, 28 Januari 2010

Titik - Koma ( ; )



titik - koma ;
pencarian sepanjang usia.

titik - koma ;
antara ada dan tiada.

titik - koma ;
saat kefanaan hanya fatamorgana.

titik - koma ;
tertawa bahagia mereka yang mulia.

titik - koma ;
dua pilihan bagi setiap jiwa.

titik - koma ;
surga atau neraka.

titik .
Masih mampukan meminta koma ;
jika pena-NYA harus berakhir di titik.


Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui. QS. (29) : 64.

Senin, 28 Desember 2009

Delapan Belas Tahun Yang Lalu


Juli 1990

Menunggu, adalah pekerjaan yang paling dibencinya. Seperti saat ini.

Menunggu, di ruang kotak bujur sangkar, ukuran lima kali lima meter persegi. Ruangan bercat dinding warna legit hijau melon. Menunggu, sendiri saja ia duduk di sofa tua, berbahan kulit imitasi, berwarna hitam. Di satu sisi dinding ruangan, ada meja tulis besar berbahan jati pelituran coklat tua. Meja jati dilengkapi kursi tunggal, berjok busa empuk, berbahan kulit yang juga imitasi, yang juga berwarna hitam. Seperangkat alat tulis, tumpukan map warna-warni, satu unit telepon, tersusun rapi di atas meja. Di satu sisi dinding ruangan lainnya, ada lemari berpintu kaca tembus pandang. Di dalamnya, puluhan piala berjejer rapi. Di lemari, ada juga tumpukan buku-buku tebal, yang juga tersusun rapi. Kaca-kaca jendela berjumlah lima ada di belahan dinding yang lain. Kaca jendela dihias korden warna hijau lumut bermotif garis horisontal. Dari balik kelima jendela yang terbuka, ia dapat mendengar lagu Indonesia Raya sayup-sayup dinyanyikan. Tebakannya, merah putih saat itu hampir mencapai puncak tiang. Merah putih akan sampai di tujuan akhirnya saat bait terakhir ... ‘Indonesia Raya, merdeka, merdeka ... hiduplah Indonesia Raya’ selesai dinyanyikan.

Menunggu, ia menghitung masih tersisa sekitar dua puluh menit ke depan untuk menyelesaikan seluruh rangkaian acara upacara bendera Senin pagi. Seragam baru putih-putih menempel kaku di tubuh semampainya. Kedua kaki panjangnya ditutup sepatu kulit warna hitam berikut kaos kaki putih panjang, tepat dua sentimeter di bawah lutut. Teronggok pasrah di sebelah kanannya, tas sekolah bertali panjang, warna coklat muda.

Menunggu, riuh-rendah akhirnya didengarnya teriakan, obrolan riang, kelompok murid-murid yang datang bergelombang. Murid-murid mulai memasuki ruang-ruang kelas. Menunggu itu hampir usai. Upacara bendera Senin pagi telah usai. Ia mendesah, satu sungging senyum menghiasi bibirnya. Menunggu itu memang sangat menyebalkan.

“Selamat pagi ...!!!” tubuhnya sigap berdiri saat didengar sapaan ramah dari laki-laki paruh baya.

“Selamat pagi pak ...” malu-malu diulurkan tangan kanannya menyalami laki-laki bersetelan safari abu-abu muda. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu Pak Sudjatmiko, kepala sekolah SMU Anak Bangsa.

“Bagaimana? Sudah siap bergabung di ‘Anak Bangsa’?” senyum simpatik menghiasi bibir hitam Pak Sudjatmiko. Ramah dan perokok berat rupanya.

“Insya Allah siap pak,” dianggukkan kepalanya.

“Bagus, sekolah ini selalu terbuka untuk bibit-bibit unggulan, anak-anak bangsa terbaik ... selamat bergabung!!!” dirasakan dua tepukan di bahu kanannya, “Baiklah, Bu Ani akan mengantarmu ke kelas sekarang.”

Bu Ani, wanita berpenampilan sederhana, namun sangat bersahaja dengan kacamata minus tiga yang bertengger di wajah bulan purnamanya. Penampilannya terbilang muda untuk usia sebenarnya, yang mendekati kepala empat. Belakangan ia mengetahui bahwa Bu Ani mengajar Biologi dan bahwa Bu Ani adalah wali kelasnya.

Tangan ramah terulur dari ibu guru Biologi, mengajaknya untuk beranjak ke kelas. Setelah mengucapkan terima kasih ke Pak Sudjatmiko, bersama Bu Ani, bergegas keduanya menuju ruang kelasnya yang baru di sekolah itu, di kota itu. Dadanya mulai terasa sesak, jantungnya berdebar, hatinya penuh harapan.


*****

Celoteh ceria penuh canda tawa di satu ruang kelas di lantai dua SMU Anak Bangsa mendadak senyap saat ia dan ibu guru Biologi menapakkan kaki di pintu kelas. Sekilas, masih sempat dilihatnya enam murid terburu-buru menduduki kursinya, lima murid lelaki dan satu murid perempuan. Murid perempuan itu sangat cantik, berkulit putih kemilau, rambut model bob sebahu, poni lurusnya jatuh sempurna di atas mata kucing yang indah. Murid perempuan itu menatapnya dengan tersenyum lebar. Ada tiga puluh kursi di ruang kelas itu. Dua puluh sembilan kursi telah penuh diduduki murid berseragam putih-putih. Hanya tersisa satu kursi kosong, baris kedua, deret kedua dari kursi terdepan, persis di sebelah murid perempuan cantik. Senyum lebar murid perempuan cantik mewakili kekosongan sisa satu kursi di ruang kelas itu.

“Selamat pagi ...!!!” Bu Ani menyapa hangat kelas paginya.

“Pagi bu ... !!!” di hadapannya, keingintahuan atas kehadirannya dari keduapuluh sembilan pasang mata tampak jelas.

Ibu guru Biologi ringkas memperkenalkan anggota kelas yang baru sebelum memulai ‘Anatomi dan Fisiologi Sel’. Dan seperti telah diduga, kursi kosong di sebelah murid perempuan cantik berambut poni menjadi miliknya selama setahun kedepan.

“Hai ... gw Agatha ... Agatha Putri,” sapa manis dari murid perempuan cantik, “Putrinya Pak Syamsul Hidayat,” lanjutnya lagi, bibir mungilnya tersenyum penuh arti. “Eh, gw seneng punya sohib baru keren macem lu. Karena lu keren, lu boleh jadi my new BFF. Lu tau nggak, BFF gw sebelumnya, yang duduk di sebelah gw tahun lalu, namanya Bedoel. Uuuhhhh bete abis setahun dengan tu laki ... hi hi hi ...” Agatha, murid perempuan cantik riang berbicara, tak berjeda.

“Lalu kemana sekarang si Bedoel?” bertanya, dikeluarkan buku cetak Biologi untuk kelas 3 SMU. Buku baru yang rapi tersampul plastik bening.

“Bedoel ...??” Agatha balik bertanya,”Sudah meninggal, kebut-kebutan motor pas liburan kemarin.”

Diliriknya takjub murid perempuan cantik yang duduk di sebelah kanannya. Mengabarkan berita duka, santai Agatha berujar, wajahnya datar tak bergeming.

“By the way ... nama lu siapa?” Agatha bertanya.

Dijawabnya perlahan,”Dheandra Wijaya ... putrinya Pak Arifin Wijaya.” Tersenyum, Dheandra mengulurkan tangan kanannya, menjabat hangat telapak tangan Agatha. “Terimakasih, aku senang menjadi best friend forever barumu Agatha.”

“Agatha ... tolong jelaskan apa yang kau ketahui tentang Plasmalemma?” suara keras Bu Ani mengakhiri perkenalan keduanya.

Dheandra kembali tersenyum. Harapannya meluap. Bahagia. Ia tahu, sejak hari itu, Agatha akan menjadi bagian hidupnya, bagian hidupnya yang menyenangkan.

bersambung ...